Ironi setiap perubahan adalah ia selalu mempersulit perencanaan. Saat dunia sedang menghadapi situasi yang tidak menentu, risiko inflasi yang tinggi, perlemahan pertumbuhan ekonomi, krisis pangan dan energi, fragmentasi geopolitik, belum lagi risiko climate change mengiringi potensi timbulnya resesi di Tahun 2023. Resesi ekonomi yang diwacanakan di lingkungan global saat ini adalah suatu fenomena yang bisa berdampak luas.
Tapi kenyataannya, tidak semua entitas bisnis bisa terdampak. Pengalaman krisis 1998, berdampak disemua tingkatan bisnis. Hanya, di aras bisnis, khususnya UMKM, ketahanan bisnis bisa terpelihara dengan baik, terutama pada UMKM yang memiliki kekuatan entepreneurial setskill, yaitu mind set dan skill set. Tanpa kekuatan itu, semua tingkatan bisnis akan kolaps.
Berdasarkan pengalaman 1998, penulis optimis pelaku UMKM bisa bertahan dalam kemungkinan lingkungan resesi 2023 dengan cara beradaptasi melalui learning curve masing-masing. Dengan demikian, akan terealisasi fenomena decoupling dimana dampak resesi hanya akan dialami oleh UMKM yang mengoperasikan business as usual, tapi tidak untuk pelaku usaha yang berkarakter entrepreneur.
Ibarat efek domino, bagaimanapun perkembangan ini akan menghadirkan dampak lanjutan ke aktivitas pemasaran dimana marketer dituntut untuk bisa semakin kreatif, untuk bisa lebih efektif dan efisien merencanakan dan mengimplementasikan arsitektur skenario formulasi pemasaran bisnis usahanya. Karena behavior pembeli pasti akan berubah. Pola belanja, frekuensi transaksi, pangsa pasar, cepat atau lambat akan terdampak.
Pelaku usaha harus semakin bisa "menyelami" (immerse) preferensi konsumennya. Dengan demikian mereka akan lebih mampu menemukan latent needs dari konsumen dan pada akhirnya dapat membuat produk yang benar-benar bisa diterima oleh konsumen, yang saat ini makin kritis, terpelajar, terdidik, skeptis, rewel dan serba menuntut (demanding) dan semakin menginginkan cara pelayanan berbeda.
Value sekarang bukan lagi sepenuhnya menjadi domain wilayah penjual-produsen. Value berasal dari ekosistem. Pelaku usaha dituntut memahami customer journey konsumennya. Paradigma dan lansekap bisnis berubah, sehingga pelaku usaha tidak hanya sekedar mengandalkan racikan marketing mix-nya (product-price-place-promotion), yang cenderung hanya fokus berorientasi kepada kepentingan bisnis.
Merujuk laporan Failory dan CB Insights, persentase penyebab paling dominan (42%) ambruknya banyak perusahaan-perusahaan rintisan (startup) di Indonesia belakangan ini adalah karena produk-jasanya tidak dibutuhkan pasar alias gagal me-manage pelanggan. Diikuti oleh 31% faktor penyebab berupa produk yang dijual tidak ramah pembeli alias mengabaikan kemauan customer”. Kemudian 19% karena kalah berkompetisi dan sisanya dikarenakan efek marketing yang buruk dan salah memilih momentum dalam menjual product.
Kegagalan bisnis UMKM seringkali karena kekeliruan dalam memahami kultur bisnis. Pelaku usaha terlalu berorientasi pada omzet penjualan tapi melupakan continuous buying berdasarkan persepsi konsumen. Sesungguhnya yang memperkuat produk untuk tetap direspon pasar adalah memahami dan menguasai pemikiran konsumen. Bisnis bukan sekedar bicara tentang besaran produk yang terjual. Tujuan bisnis adalah menciptakan pelanggan dan menjaganya agar tidak membiarkannya beralih ke pesaing.
Di era kekinian tantangannya adalah sedalam apa kita bisa mengerti pelanggan karena habit dan behavior pembeli pun juga makin mengalami shifting. Dari dulu pemasar pun sudah paham bahwa upaya memahami pelanggan sangat sulit. Sekarang ini lebih sulit lagi yang pada akhirnya membuat program pemasaran kita gagal.
Jika pelaku bisnis mau memahami konsumennya agar survive dan jadi marketer yang sukses jangan pernah sekali-kali mengabaikan teknologi karena teknologi telah dan akan terus menjadi penggerak perubahan revolusioner pada seluruh aspek kehidupan.
Saat ini konsumen bukan cuma mengonsumsi, tetapi aktif berpartisipasi di lansekap yang flat, terdesentralisasi, terdemokratisasi, terdistribusi dan terfragmentasi secara customized personalization. Sehingga, antara consumer, dengan customer dan terhadap user, akan semakin saling berbeda. Konsumen bukan sekadar mengonsumsi. Dan “pembelian” produk-jasa, bukan lagi ultimate goal dari suatu transaksi.
Tampak kasat mata meskipun masih belum semua, malah mungkin lebih banyak UMKM yang telah menggunakan pemasaran via teknologi informasi, namun banyak yang belum merubah sikapnya menjadi seorang entrepreneur, masih seperti pedagang yang mengedepankan profit semata tanpa memikirkan kemajuan usahanya yang berkelanjutan dan berkembang. Sehingga banyak pelaku usaha yang heran sendiri, usahanya tidak maju, tidak banyak pelanggan, malah banyak retour dan complaint.
Menggunakan media teknologi itu memang harus paham dan berhati-hati. Banyak diantaranya menawarkan atau menampilkan produknya dengan menawan, kenyataannya sebaliknya, seringkali mengirim salah warna, salah nomor/ ukuran, dan sulit untuk dihubungi lagi. Belum lagi masalah harga yang semaunya, padahal dengan telunjuk saja prospek konsumen bisa membandingkan dengan yang lainnya.
Dengan demikian, pelaku usaha tidak hanya harus mengkustomisasi penawarannya tapi juga musti mempersonalisasi preferensi konsumen. Inilah kuncinya. Untuk mendapatkan the real insight konsumen kita, pelaku usaha harus bisa menyelami preferensi konsumennya, bagaimana mereka hidup pada natural setting-nya.
0 Comments:
Post a Comment