HARMONISASI GERAK PARIWISATA



  • Berkaca dari succes story banyak negara lain yang menjadikan tourism sebagai lokomotif untuk peningkatan kualitas lingkungan dan kehidupan warganya, maka terbit Keppres 5 Tahun 2005 silam tentang keharusan kepala daerah mengembangkan kepariwisataan di daerah masing-masing. Jika kita mengatakan pariwisata menjadi lokomotif pembangunan artinya PDRB Pariwisata sebagai indikator kinerjanya (seberapa besar kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB).

    Sayangnya, hanya 1-2 kepala daerah yang mengerti bahwa produk pariwisata adalah citra destinasi, yang dibentuk dan merupakan hasil kerja kolektif seluruh komponen pemerintah dan masyarakat yang berbasis pariwisata. Disitulah pentingnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi seluruh komponen berdasarkan kesetaraan by harmoni atau keselarasan gerak dan irama dalam mencapai tujuan, hanya bisa dicapai bila pimpinan daerahnya bagus, membuat partitur, dan memimpin keselarasan irama dan gerak semua komponen.

    Mengingat karakter perkembangan pariwisata merupakan gabungan antara daya tarik kota dan kabupaten, untuk melayani wisatawan dan kemudian digunakan untuk pengembangan pariwisata, pengembangan hubungan antar pemangku kepentingan akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas pembangunan pariwisata.

    Untuk itu diperlukan kolaborasi untuk Menciptakan iklim yang kondusif bagi terselenggaranya hubungan kerjasama antar pemangku kepentingan kepariwisataan.

    Menciptakan kerangka kerjasama lintas sektoral yang dapat menunjang pembangunan pariwisata.
    Membangun sistem dan jaringan komunikasi dan informasi antar stakeholders.

    Menciptakan ruang bagi pengembangan program dan kegiatan kerjasama pembangunan pariwisata yang dapat dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan.

    Dengan kolaborasi yang harmonis maka kepala daerah dapat menciptakan keselarasan gerak pariwisata di wilayahnya, yang salah satunya dapat mengantisipasi terjadinya overtourism.

    Sejujurnya penulis kurang setuju kalau istilah “overtourism” melulu dikonotasikan negatif, misalnya yang terjadi di Bali beberapa waktu lalu yang sempat dikritik Dewan Pariwisata Dunia (World Travel & Tourism Council). Overtourism, disatu sisi adalah suatu keberhasilan masyarakat yang mampu mewujudkan sapta pesona, namun sekaligus menunjukan dengan nyata kelemahan pemerintah dalam mengelola kepariwisataan, dan sangat nampak sebenarnya perkembangan tersebut seperti berjalan ‘Autopilot”.

    Perlu kiranya dipahami bahwa tidak mudah mewujudkan suatu daerah sebagai destinasi tujuan wisata pilihan wisatawan, bahkan teramat sulit. Ketika sudah banyak wisatawan yang datang, stakeholder pariwisatanya tampak bingung sendiri. Jika suatu destinasi utama sudah maju pesat, biarkanlah, itu bagus. Untuk menjaga keseimbangannya maka destinasi utama itu biarkanlah menjadi pintu masuk distribusi ke destinasi sekitarnya.

    Tentu ini harus difasilitasi oleh pemerintah yang diatasnya. Sebagai ilustrasi misalnya, jika di Bandung terjadi overtourism, maka Gubernur Jawa Barat dapat memanggil Walikota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, untuk bekerjasama dalam segala hal kepariwisataan. Provinsi punya kewajiban sebagai pengatur wilayah dan promosi kewilayahannya. Maka mungkin bisa terwujud semacam Bandung Plus dan seterusnya.

    Dengan demikian overtourism di suatu destinasi wisata tidak akan mengganggu warga setempat, baik dampak lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Kata ‘overtourism’ dapat menjadi konsep yang relatif – jumlah wisatawan yang terlalu tinggi belum tentu menjadi semacam ancaman bagi warga di suatu destinasi tertentu.

    Kepala daerah memiliki peran penting dalam mengendalikan dampak negatif overtourism agar pariwisata tetap memberikan manfaat bagi daerahnya tanpa merugikan penduduk setempat melalui regulasi terhadap kegiatan wisatawan. Penataan ruang dan infrastruktur berkelanjutan yang baik dapat membantu mengendalikan dampak negatif overtourism, memberikan kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan, sehingga mereka tidak merasa terlalu mengganggu kehidupan penduduk lokal. Peningkatan kualitas lingkungan, adalah tujuan utama pengembangan kepariwisataan, tujuan berikutnya adalah kesejahteraan warga/ masyarakat.

    Semua kembali berpulang kepada kekuatan SDM (pariwisata) di pemerintahan. Hingga saat ini stakeholder kepariwisataan masih menantikan pemimpin yang sangat peduli terhadap kepariwisataan, yang peduli dengan kualitas sumber daya manusia pariwisata, yang program-kegiatan kepariwisataannya membumi, yang memiliki komitmen dalam menyiapkan masyarakat sadar wisata, yang terus menerus mempersiapkan sumber daya manusia regulator, mengembangkan daya tarik khas, dan lain-lain.

    Contoh kasus di berbagai negara yang telah mengambil langkah-langkah sukses pariwisata kiranya mengingatkan kita akan perlunya konsistensi dari pemerintah setempat untuk menerapkan berbagai kebijakan dan inisiatif yang efektif dalam harmonisasi gerak dan irama pariwisata yang akan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

    Bagi suatu destinasi yang menjadi pintu masuk bagi destinasi disekitarnya, sangat perlu melakukan kerjasama dengan daerah sekitarnya, dan boleh berbangga hati menjadi ‘jalan rizki” dengan daerah tetangganya, dengan secara bersama menawarkan paket-paket wisata unggulan dengan rute yang lebih luas, kualitas lingkungan yang lebih baik, memperpanjang lama tinggal, dan akhirnya tujuan berikutnya kesejahteraan tercapai.

  • 0 Comments:

    Post a Comment

    ALAMAT

    Cihanjuang - Cimahi, Jawa Barat

    EMAIL

    idoeyoptima@gmail.com

    TELEPON

    (022) 664 6418

    MOBILE

    +62 812-2137-498