Pariwisata merupakan simpul pergerakan berbagai sektor. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pariwisata sebagai pusat dari pembuatan kebijakan. Karena produk kolektifnya citra yang baik untuk suatu destinasi tujuan wisata, maka seluruh bisnis terkait kepariwisataan harus terintegrasi menuju ke arah tersebut agar mata rantai kepuasan wisatawan tidak terputus.
Dengan prinsip tourism-centered economy, seharusnya semua departemen, semua sektor, dan semua provinsi diarahkan untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya sektor pariwisata dan industri kreatif.
Prinsip ini sangat memerlukan komitmen walikota/ gubernur sebagai regulator untuk menyatakan pariwisata sebagai motor penggerak kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas lingkungan. Dibutuhkan pemimpin yang percaya diri, fokus-konsisten untuk mengeksekusinya mengingat sektor pariwisata kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai “core economy” Indonesia karena kontribusinya yang sangat signifikan bagi perekonomian nasional.
Mungkin perlu ada gerakan perbaikan tata kelola bisnis pariwisata. Perbaikan ini bisa menggunakan pendekatan makro bisa juga mikro. Mulai dengan menentukan struktur stakeholder yang terkait kepariwisataan.
Makro bermula dari sektor pemerintah dalam menentukan kebijakan bisnis pariwisatanya apa, terutama dalam konteks foreign tourism requirement. Bagaimana pentingnya turis asing bagi indonesia, dan bagaimana kapasitas dan strategi pemerintah memperluas jejaring luar negeri.
Peningkatan kepercayaan wisatawan mancanegara untuk kembali mengunjungi Indonesia yang ditunjukkan oleh peningkatan dua kali lipat jumlah kedatangan wisatawan mancanegara pada awal tahun ini dibandingkan jumlah kedatangan 2021 lalu harus dijadikan momentum seluruh pihak untuk memandang pariwisata sebagai penggerak pembangunan berkelanjutan.
Dari sisi pendekatan mikro bisa dimulai dari kepentingan pelaku usaha wisata (hulu sampai hilir) dan kepentingan penikmat wisata (kelas masyarakat atas, menengah, bawah). Kepentingannya akan terdiferensiasi, karena meskipun tujuannya sama mencari kesenangan leisure, tapi kemampuan ekonomi berbeda. Jadi akan berdampak pada subjek dan objek kunjungan traveling.
Dalam tata kelola bisnis pariwisata memiliki seperangkat nilai etika bisnis adalah suatu hal; melindungi dan menjaga etika tersebut setiap hari dalam persaingan destinasi wisata merupakan hal lain. Melonggarnya pandemi, membuat kesempatan berwisata menjadi lebih terbuka.
Peningkatan bisnis pariwisata yang ditunjukkan oleh munculnya obyek atau destinasi baru berupa produk kuliner, pemandangan alam, wahana wisata, camping ground, sampai wisata kesehatan-pun meriah berpromosi. Model pemasaran destinasi atau obyek pun menjadi lebih kreatif, lebih meriah dan lebih murah melalui media sosial.
Tiap hari dengan mudah kita bisa melihat promosi tempat wisata di seluruh indonesia, bahkan diberbagai pelosok dunia. Ada yang model fact picture, ada yang berupa testimony, atau menggunakan public figure.
Namun tidak semua sesuai kenyataan, karena kecanggihan teknologi, maka gambar bisa di 'make up' dengan mudah. Sehingga yang menjadi hal yang penting adalah bagaimana pelaku bisnis wisata menyampaikan sesuatu dengan benar, jujur, sesuai kenyataan, dan kalau perlu ditambah tips-tips penting yang mencegah wisatawan kecewa dan berbalik "menghancurkan" obyek tersebut. Standar kelayakan pengelolaan bisnis wisata yang memenuhi kriteria etika kian menjadi sesuatu yang merindu untuk ditepati.
Disebut misalnya, hanya 15 menit dari exit tol pasteur. Padahal 2 jam perjalanan belum bisa sampai. Tidak diinfokan adanya parkir liar yang memalak sampai puluhan ribu rupiah. Tidak diinfokan hati-hati dengan banyaknya pencopet di lokasi.
Tidak ada rest room atau toilet yang memadai. Makanannya ternyata pedas semua, kebanyakan anak-anak tidak bisa makan. Ternyata makanannya mengandung sesuatu yang tidak halal, dan lain-lain. Tell the truth, tell the fact, and maintance your fact itu akan lebih baik.
Bahkan tidak tidak sedikit penggiat wisata beranggapan atraksi produk wisatanya yang jelek bisa bergulir bila komunikasinya, perception management-nya oke. Ini tentu saja keliru. Tanpa pemahaman yang utuh, penggiat wisata bisa terjebak menjadi manipulator persepsi.
Apa yang dikomunikasikan tentu tidak boleh tergantung pada kesempatan. Untuk berkomunikasi secara efektif, penggiat wisata harus menarik garis batas antara persuasi yang bersahabat dan eksploitasi yang tidak bersahabat. Jika janji dalam konsep pemasaran ingin dipenuhi, ini harus terwujud melalui promosi destinasi wisata.
Persuasi haruslah dilakukan demi kepentingan ini dengan kepentingan pelaku wisata sehingga wisatawan tidak merasa ditipu demi keuntungan pelaku wisata!
Ini bukanlah tugas yang mudah. Tantangannya adalah menemukan titik temu antara kepentingan pragmatis penggiat wisata untuk memperoleh keuntungan dengan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat. Betapapun sulitnya, tata kelola bisnis pariwisata harus diimplementasikan untuk mendongkrak daya saing pariwisata tanah air melalui kesadaran penguatan kolaborasi dan sinergitas yang harmonis diantara pemangku kepentingan kepariwisataan.
0 Comments:
Post a Comment