Wisatawan cenderung untuk membentuk citra wisata didasarkan pada inferensi mereka yang diperoleh dari stimuli pemasaran dan lingkungan di destinasi.
Citra adalah total persepsi terhadap suatu obyek, yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber setiap waktu.
Sasaran penting dari strategi pemasaran penggiat wisata adalah untuk mempengaruhi persepsi wisatawan terhadap destinasi. Jadi, penggiat wisata harus secara konstan mencoba mempengaruhi citra wisatawan.
Sejatinya citra setiap destinasi wisata itu sudah ada (seluruh komponen pembentuk citra), namun kemungkinannya tidak/ belum disadari/ diketahui umum atau malah tidak diketahui juga oleh komponen pembentuk citra itu sendiri. Kemungkinan kedua kurang adanya gerakan pemerintah, khususnya dinas terkait (bisa jadi karena mereka juga tidak tahu).
Maka perlu dorongan, malah cambukan masyarakat yang mengerti untuk mengingatkan semua pihak pembentuk citra, bahwa citra itu penting, hasil kerja kolektif semua komponen, sehingga semua harus berperan di maqomnya masing-masing.
Image adalah realitas. Oleh karena itu program pengembangan dan perbaikan citra destinasi harus didasarkan pada realitas. Jika salah (citra tidak sesuai dengan realitas), dan kinerja kita baik, itu adalah kesalahan kita dalam berkomunikasi. Jika citra itu benar dan merefleksikan kinerja kita yang jelek, itu berarti kesalahan kita dalam mengelola organisasi.
Jika komunikasi pasar tidak cocok dengan realitas, secara normal realitas akan menang. Periklanan (secara lebih luas komunikasi) yang tidak didasarkan pada realitas hanya akan menciptakan harapan yang lebih tinggi dari pada kenyataan yang dirasakan.
Akibatnya, ketidakpuasan akan muncul dan akhirnya wisatawan mempunyai persepsi yang buruk terhadap citra organsasi.
Azas penting dalam keberhasilan ‘keeping it real dari citra’ ini, adalah azas manfaat bagi individu dan masyarakat pembentuk citra tersebut. Pendekatan manfaat ini bisa didekati dengan manfaat terhadap terpeliharanya/ meningkatnya kualitas lingkungan, sosial, ekonomi, bahkan mungkin pendekatan agama (Islam) dimana kita wajib memelihara lingkungan, persahabatan/ silaturahmi, ibadah dengan membantu/ memudahkan orang lain, menjaga kebersihan, dan lain-lain.
Image wisatawan yang positif terhadap suatu destinasi lebih memungkinkan wisatawan untuk melakukan kunjungan. Destinasi yang lebih baik juga menjadi dasar untuk membangun citra penggiat wisata yang positif.
Sering kita mendengar bahwa suatu destinasi mempunyai citra yang buruk dan tidak jelas. Yang tadinya bagus sekarang menjadi buruk. Para penggiat wisata berusaha menjawab mengapa citranya buruk dan tidak jelas.
Sering sekali jawaban mereka tanpa disertai analisis yang benar dan alasan yang jelas dibalik buruknya citra.
Tentu saja hal ini akan menimbulkan tindakan yang salah. Misalnya tindakan pulasan kosmetika (terjebak melakukan perang promosi secara berkepanjangan dan lalai tidak menambah traveler value dan tidak membangun citra destinasinya – destructive marketing mix), hal itu sering tidak menjawab masalah yang sebenarnya. Tindakan seperti itu mempunyai dampak yang terbatas, atau bahkan mungkin merusak citra.
Bagaimanapun jika terdapat masalah yang nyata, misalnya jika citra destinasi yang buruk disebabkan kinerja yang jelek, citra hanya dapat diperbaiki dengan tindakan internal, yang bertujuan memperbaiki kinerja.
Jika citra negatif, mungkin salah satunya disebabkan oleh pengalaman buruk wisatawan. Dalam hal demikian, terdapat masalah berkenaan dengan kualitas teknis atau fungsional.
Jika masalah citra adalah problem yang nyata, hanya tindakan nyata pulalah yang akan menolong. Masalah-masalah nyata yang berkaitan dengan kinerja penggiat wisata destinasi yaitu kualitas teknis atau fungsional-lah yang sebenarnya menyebabkan masalah citra. Tindakan internal yang memperbaiki kinerja penggiat wisata dibutuhkan jika citra yang buruk ingin diperbaiki.
Jika citra destinasi tidak diketahui, berarti terdapat masalah komunikasi. Dalam kondisi seperti itu penggiat wisata mungkin baru saja memasuki segmen pasar wisatawan yang tidak diketahui, atau sifat-sifat usaha yang menyebabkan kontak dengan target wisatawan secara sporadis, yang berarti bahwa wisatawan tidak pernah mengembangkan citra destinasi secara lebih mendalam.
Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana mempengaruhi citra positif wisatawan terhadap destinasi. Ramuan kunci untuk mempengaruhi citra merek wisatawan adalah dengan pemposisian produk (product positioning). Penggiat wisata mencoba memposisikan destinasinya untuk memenuhi kebutuhan segmen wisatawan sasaran.
Citra destinasi mengacu pada skema memori akan sebuah destinasi, yang berisikan interpretasi wisatawan atas atribut, kelebihan, penggunaan, situasi, para pengguna, dan karakteristik penggiat wisata tersebut. Citra destinasi adalah apa yang konsumen pikirkan dan rasakan ketika mendengar atau melihat nama suatu destinasi.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan citra destinasi yang sudah positif. Manfaat dari pemutakhiran citra destinasi yang positif, yaitu penggiat wisata bisa mengembangkan lini produk dengan memanfaatkan citra positif yang telah terbentuk terhadap destinasi wisata lama.
Kebijakan family branding dan leverage branding bisa dilakukan jika citra destinasi wisata yang telah ada positif.
0 Comments:
Post a Comment