PERKEMBANGAN sektor pariwisata memiliki episentrum luas dan akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas sektor industri, seperti industri pertanian/ agribisnis, peternakan, perikanan, perhubungan, dan sektor lainnya yang berkaitan erat. Produk pariwisata sebagai hasil produk kolektif antara unsur-unsur biroktratis, stakeholders dan masyarakat luas harus sepenuhnya dijiwai sehingga memuluskan integrasi dan koordinasi program/ kegiatan kepariwisataan.
Perkembangan pariwisata memiliki keterkaitan yang sangat kompleks antara satu instansi dengan instansi yang lain ataupun antara satu usaha pariwisata dengan usaha pariwisata lainnya, termasuk didalamnya partisipasi masyarakat dalam mendukung perkembangan pariwisata.
Keterkaitan yang dimaksud antara lain dengan Disbudpar kota/ kabupaten/ provinsi, Dinas Perhubungan, Departemen Luar Negeri yang meliputi kebijakan visa, Departemen Hukum dan HAM yang meliputi kebijakan keimigrasian, seperti pembuatan pasport, pemberian visa on arrival, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Kesehatan, Departemen Koperasi dan UMKM, Kepolisian RI dan departemen/ lembaga lainnya.
Jaringan dalam bidang usaha pariwisata akan tampak pada sistem kerja yang dilakukan oleh usaha perjalanan wisata maupun PCO (Professional Conference Organizer), PEO (Professional Exhibition Organizer), dan juga EO (Event Organizer) dengan para principal-nya, seperti hotel, restoran, daya tarik wisata, transport wisata, rekreasi dan hiburan, guide, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Oleh karenanya diperlukan suatu kesepakatan antara pebisnis pariwisata untuk dapat mengembangkan suatu paket wisata yang saling menguntungkan, dengan mempertimbangkan kualitas dan harga yang lebih rasional.
Jaringan pariwisata yang merupakan keterkaitan elemen-elemen dalam pemerintahan, usaha pariwisata, dan masyarakat juga merupakan bagian dari komponen yang menentukan citra destinasi wisata sehingga kinerja jaringan ini harus pula dapat menampilkan suatu produk total yang baik.
Intensitas pola kunjungan wisatawan ke Kota/ kabupaten tidak terlepas dari keterkaitan usaha pariwisata dengan moda transportasi sebagai prasarana akses ke Kota / kabupaten. Interkorelasi antar sektor usaha yang satu dengan lainnya sangat erat dan saling-berkaitan, sehingga menimbulkan bisnis yang bersifat mutual benefits.
Ilustrasi jaringan usaha pariwisata yang dimaksud, dapat dielaborasi dengan salah satu contoh, yaitu dengan datangnya wisatawan ke suatu obyek yang menjadi kunjungan wisatawan di sebuah kota, akan menumbuhkan aktivitas usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dengan berbagai dimensi kebutuhan dan permintaan.
Sementara dari sisi pemerintahan, logikanya akan tercipta konspirasi dan transparansi diantara dinas-dinas di pemerintah kota/ kabupaten, termasuk didalamnya lintas departemental (horizontal) dengan mengeliminasi egosentrisme, sehingga sinergitas dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata sebagai sektor jasa yang diunggulkan akan mampu tercipta.
Dalam memasarkan daya tarik wisata di suatu destinasi, ada yang sebenarnya kekesalan penulis kepada kelompok pengusaha, sebutlah pengelola hotel. Kalau hotelnya berjalan baik, mereka seakan tiarap, malahan laporan tingkat hunian dan jumlah orang menginap kerap kali mereka rekayasa.
Tapi, giliran hotelnya berjalan tidak baik, maka mereka protes ke pemerintah. Persaingan yang tidak sehat lah, jumlah kamar terlalu banyak lah, pemerintah tidak mampu mendatangkan wisatawan lah, dan lain-lain. Suka geli juga, bukankah waktu seseorang memutuskan membuat hotel ada feasibility study nya dulu? Dari situlah dia membuat strategi pemasarannya.
Kenapa wisatawan tidak mau menginap di hotelnya? Tidak usahlah menyalahkan pihak lain, bebenah saja supaya ada pembeda dalam produk dan pelayanannya. Terus, pada saat dia pasarkan hotelnya, tidak ada tuh yang serius menawarkan daya tarik destinasinya, leaflet, booklet, maupun di media sosial, semua disibukkan menampilkan fasilitas hotelnya sendiri, menunggu diakhir, di “tikungan”, mau enaknya sendiri, tidak ikut memancing cuma ikut makan ikannya. Kiranya diperlukan perubahan, mereka harusnya menawarkan juga daya tarik destinasi, bukankah citra produk kolektif?
Dengan demikian, dinamika dan pembangunan sebuah destinasi wisata kota/ kabupaten menuntut seluruh tatanan organisasi baik di pemerintahan maupun di kalangan pebisnis, untuk selalu berfikir dan bertindak pro-aktif, kreatif dan inovatif sebagai bagian dalam melaksanakan revitalisasi diberbagai struktur kehidupan organisasi, agar mampu menjawab setiap tantangan dan perubahan jaman.
Pariwisata tidak berdiri sendiri, sebagai suatu kegiatan dan bahkan dipahami sebagai suatu industri, pariwisata mempunyai kaitan ke hulu maupun ke hilir yang sangat luas, membangun suatu jaringan yang rumit, yang masing-masing elemen dapat dipandang sebagai sektor mandiri, misalnya hotel, namun berkaitan dengan kepariwisataan, elemen-elemen ini saling menunjang.
Kebijakan pemerintah kota/ kabupaten dan langkah teknis dari instansi terkait, pihak swasta, serta masyarakat, dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana mata rantai kepariwisataan sangat dinantikan. Diperlukan pengelolaan unsur-unsur pembentuk citra destinasi wisata di kota/ kabupaten yang dilakukan oleh pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat. Pemerintah harus mengoptimalkan koordinasi dan kerjasama inter-departemental dan lintas sektoral, sehingga terbangun suatu pemahaman bersama bahwa pariwisata adalah produk kolektif seluruh stakeholder kepariwisataan.
0 Comments:
Post a Comment