Artikel ini telah diterbitkan di Galamedia. Klik untuk detail lebih lanjut.
Promosi wisata adalah wajah sebuah destinasi. Dan kepiawaian melukis wajah ini menjadi sangat penting karena ada ratusan wajah seperti ini di sekeliling wisatawan, semua berusaha untuk dilihat dan didengar.
Tidaklah cukup hanya sebuah daya tarik dan menyediakan pelayanan wisata, penting juga memberikan informasi kunci yang dibutuhkan oleh para wisatawan agar mengambil keputusan berkunjung.
Sekarang ini masih tampak adanya provinsi/kabupaten/kota yang membuat proyek promosinya sendiri-sendiri, yang seringkali tidak efektif, boros dan tidak kena sasaran.
Malah ada kepala daerah yang meminta provinsi untuk ‘mengirim’ wisatawan untuk berkunjung ke daerahnya. Wisatawan tidak dapat ‘disuruh’ untuk datang, tapi memutuskan sendiri kemana dia mau pergi berdasarkan preferensi, berupa informasi dalam berbagai bentuk.
Sejatinya kebijakan terkait tourism promotion strategic ini berjenjang mulai dari tingkat nasional, regional dan lokal. Ada pembagian tugas promosi pariwisata yang jelas. Kementrian fokus pada national destination promotion. Provinsi komit pada regional destination promotion.
Kabupaten/kota memusatkan perhatian pada city destination promotion. Jangan ada tumpang tindih, tapi ada irisan promosi terintegrasi. Setiap tingkatan pemerintahan mempunyai content dan context promosi wisata.
Selama ini pemerintah sangat dominan dalam promosi wisata, termasuk melakukan sesuatu yang semestinya cukup dilakukan oleh vendor wisata.
Disrupsi global memberi efek munculnya ketidakterkaitan (decoupling) antara apa yang dilakukan pemerintah sebagai regulator dengan komunitas wisata sebagai operator.
Mestinya pemerintah di tingkat pusat fokus pada promosi kenyamanan dan keamanan (safety and comforty) sehingga turis asing bersedia datang ke Indonesia karena ada jaminan ketenangan, tanpa rasa takut dan khawatir (incoming customers).
Pemerintah provinsi fokus pada layanan informasi, fasilitasi dan konektivitas sehingga turis asing dan domestik mendapatkan kemudahan akses ke lokasi-lokasi wisata (satisfying customers).
Pemerintah kota/kabupaten bersama mitra komunitas jasa wisata dan derivasinya menyediakan multiproduk wisata yang bisa mendatangkan turis yang bersedia membayar (paying customers).
Semua sumber daya manusia di tiga level pemerintahan dan vendor wisata tersebut mestinya memiliki mindskill ke arah itu. Konsekuensinya, apresiasi dan relasi harus lebih kuat di semua lini stakeholders hingga terjalin daya sinergitas yang harmonis.
Jadi, tentang promosi kota untuk nasional, kota disilahkan mengemas alatnya, berikan ke provinsi. Untuk promosi global, dikemas oleh provinsi, berikan ke pusat. Misal untuk promosi city destination di tingkat nasional: kota sampaikan daya tarik unggulan dan daya tarik suplemennya ke provinsi.
Kota bisa bantu buat sendiri alatnya, misalnya videonya, leaflet, booklet, flyer, poster, dan lain-lain. Provinsi nanti memilih juga daya tarik di wilayahnya, dan akan membantu sepenuhnya.
Patut diakui, kita memiliki kelemahan struktural dalam promosi wisata, sehingga kedatangan turis bersifat randomik. Di tingkat nasional membuka kemudahan dengan bebas visa, tapi turis asing yang datang tetap minim. Mengapa?
Di tingkat regional kedatangan turis antar daerah sering terjadi breakpass, datang ke Indonesia hanya ke Bali sedangkan wilayah wisata lain seperti kota-kota di Jawa, apalagi di luar Jawa, terlewatkan.
Di tingkat lokal seringkali penyedia produk wisata dan pemerintah daerah tidak sinkron dalam kebijakan operasional objek wisata.
Untuk mengembangkan promosi kepariwisataan secara komprehensif, satu kesatuan dan terintegrasi menuntut profesionalisme sumber daya manusia (SDM) yang ada, agar dapat menjadi motor penggerak, penghela, untuk peningkatan kualitas lingkungan dan kualitas kehidupan masyarakat di destinasi.
Jika SDM-nya profesional yang ditunjang dengan standing academic yang mumpuni, otomatis akan memahami dan berfikir entrepreneurial, hingga mampu mendapat banyak, dengan cara sederhana dan biaya rendah.
Kiranya, apakah mungkin ada pengusaha/pengiat pariwisata yang percaya dan yakin dibawa kearah yang lebih baik, bila pembinanya hanya 1-2 orang yang lulusan D2-D3 sekolah pariwisata? Disisi lain sebenarnya kalau ditelusuri, pengusaha juga lebih cenderung memilih 'tenaga murah" dengan sistem casual/kontrak.
Hanya sedikit pengusaha yang mau keluar uang buat pengembangan SDM-nya. Alasannya sangat naif: buat apa? nanti “sudah pinter pindah”.
Solusi yang masih mungkin diprioritaskan adalah rekrut yang ahli dengan segera, adakan diklat teknis, buat TOT supaya destinasi bisa bersaing dan naik kelas pelayanannya.
Kompetensi yang perlu dimiliki berkaitan dengan hal tersebut mencakup: sensitifitas dan responsifitas terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul didalam landskap pasar wisatawan, tidak terpaku dalam kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi akan tetapi harus mampu melakukan terobosan melalui pemikiran kepariwisataan yang kreatif dan inovatif, mempunyai wawasan futuristik dan sistematik.
SDM Kepariwisataan juga dituntut mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan resiko, jeli terhadap potensi kantong-kantong kepariwisataan dan sumber-sumber dan peluang baru dan mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber kepariwisataan menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas tinggi.
Ini yang sangat-sangat penting bagi pengembangan promosi kepariwisataan saat ini (agak hampir terlambat) dan masa kedepannya.
0 Comments:
Post a Comment