Yudhi Koesworodjati

Saya seorang Akademisi

Dr. Yudhi Koesworodjati, S.E., MPA.

Saya adalah seorang Dosen Tetap FEB Unpas dan pemerhati kepariwisataan. Sebagai akademisi saya berperan aktif sharing wawasan dan pengalaman dengan memberikan shortcourse learning program bagi banyak perusahaan BUMN dan Swasta dan aktif menulis tulisan lepas di media cetak terkait kepariwisataan dan kewirausahaan. Selain terus meingkatkan kinerja PT. Optima Pratama Konsultan yang saya miliki, saat ini saya dipercaya untuk memimpin Pusat Pengelola Kelas Internasional FEB Unpas.

  • Cihanjuang - Cimahi, Jawa Barat.
  • +62 812-2137-498
  • idoeyoptima@gmail.com
  • www.idoeykoesworodjati.blogspot.com
Me

Spesialisasi Saya

Spesialisasi saya di bidang Manajemen Pemasaran dan Manajemen Stratejik.

Pemasaran Stratejik 90%
Pemasaran Internasional 90%
Pemasaran Ritel 90%
Perencanaan Stratejik 90%
  • EKONOMI DAN PARIWISATA



    Selama beberapa dekade terakhir banyak perekonomian mengalami pertumbuhan di sektor jasa, bahkan ketika sektor pertanian dan manufaktur yang lebih tradisional mengalami stagnasi atau penurunan. Pariwisata adalah industri berbasis jasa, sehingga sebagian bertanggung jawab atas pertumbuhan sektor jasa ini. Di negara-negara berkembang, sektor jasa bertanggung jawab atas sekitar 40% PDB, sementara di negara-negara maju atau negara-negara industri, sektor ini bertanggung jawab atas lebih dari 65% PDB.

    Meskipun banyak alasan yang bersifat alturistis dan bermaksud baik yang terkadang diajukan untuk mendukung pengembangan pariwisata, keuntungan ekonomilah yang menjadi pendorong utama pengembangan pariwisata. Pada dasarnya, pariwisata adalah industri yang mempunyai dampak positif ekonomi yang cukup besar, dan bersinergi dengan local home industry, melibatkan masyarakat.  

    Kepariwisataan dikembangkan ditujukan untuk peningkatan kualitas lingkungan, dan kualitas kehidupan masyarakat sekitar daerah tujuan wisata. Arus wisatawan ke daerah tujuan wisata tersebut, menimbulkan dampak positif antara lain kepada sektor ekonomi, diantaranya peningkatan devisa negara (dari wisatawan mancanegara) dan bertambahnya mata uang beredar (dari wisatawan nusantara) yang merupakan dampak langsung dan juga akibat lain yang menyertai kebutuhan wisatawan dalam kegiatan wisatawan sejak mereka datang, tinggal atau selama berada di daerah tujuan wisata, melakukan kegiatannya, sampai kembali ke tempat asalnya. Bisa berupa transportasi, makan-minum, akomodasi, hiburan lainnya, juga kebutuhannya terhadap cenderamata, cinderarasa yang dibawanya pulang, dan lain-lain.

    Dengan adanya multi kegiatan tersebut di daerah tujuan wisata, terjadi pula dampak terhadap lapangan kerja, lapangan berusaha, pertumbuhan usaha mikro kecil menengah dalam mengeksplorasi kreatifitas masyarakat untuk berbagai  produk khas bermuatan lokal/ khas yang mungkin bahkan akan memperkuat daya tarik daerah tujuan wisata itu sendiri. Contoh Kota Bandung yang merupakan model  wisata kota yang kaya akan bangunan bersejarah dan peristiwa bersejarah, didukung dengan daerah tujuan wisata kota sekitar dengan kekuatan daya tarik alamnya, malah lebih menonjol daya tarik kuliner dan fashion-nya.

    WTTC, World Travel and Tourism Council, pernah memberikan gambaran bahwa;

    1. Prakiraan kesempatan kerja sektor pariwisata adalah per-1.000 wisnus = 37 kesempatan kerja.
    2. Per – 1.000 wisatawan mancanegara = 63 kesempatan kerja.
    3. Biaya promosi untuk mendatangkan 1 wisatawan mancanegara = US$ 10.
    4. Biaya promosi mendatangkan 1 wisatawan nusantara = US$ 2-3.
    5. Belanja wisatawan mancanegara di Indonesia rata-rata US$ 110/hari.

    Pengeluaran wisatawan sama “nyata” nya dengan bentuk konsumsi lainnya dan pengeluaran wisatawan internasional dapat dilihat sebagai ekspor tak kasatmata dari negara tuan rumah, sedangkan pariwisata domestik dapat dilihat sebagai “ekspor” antara daerah setempat dan, dalam beberapa hal, sebagai pengganti impor dari ekonomi nasional.

    Dengan demikian kedepan, bila dampak perekonomian yang hendak digunakan terhadap keberhasilan capaian kepariwisataan, maka tolok ukurnya mestinya tidak lagi hanya jumlah kunjungan wisatawan, tetapi kualitas wisatawan dan dampaknya terhadap perekonomian secara langsung, berikut dampak perekonomiannya terhadap multisektor berupa multiplier effect/ dampak berganda,tricklingdown effect/ efek turunan, dan spillover effect/ dampak tetesan.

    Belum lagi kalau sampai dapat mengukur dampak ekonomi tidak langsung terhadap multisektor (misalnya: perdagangan dan jasa lainnya, perhubungan, pertanian, dan lain-lain; dan dampak non ekonomi seperti terhadap kesempatan kerja, kesempatan berusaha, dan lain-lain).

    Meningkatnya jumlah perolehan pajak langsung dari pajak hotel cukup jelas menunjukkan bahwa kualitas wisatawan yang berkunjung ke kota Bandung lebih meningkat, ditandai dengan meningkatnya jumlah wisatawan menginap dan atau bertambahnya lama menginap.

    Dampak ekonomi pariwisata terhadap ekonomi tuan rumah umumnya positif tetapi juga membawa beberapa aspek negatif (terutama dampak negatif terhadap sosial budaya dan lingkungan hidup). Literatur cenderung condong ke aspek positif dampak ekonomi. Penting untuk menetapkan seberapa signifikan pengeluaran pariwisata bagi suatu ekonomi karena hal ini memungkinkan pembuat kebijakan dan perencana untuk menentukan ketergantungan dan mengembangkan strategi untuk masa depan. Yang perlu diperhatikan secara khusus adalah fakta bahwa pengeluaran pariwisata cenderung terjadi antara negara-negara industri yang lebih kaya daripada antara negara-negara industri dan non-industri.

    Dengan berlimpahnya keuntungan yang bakal dapat diraih dari pengembangan pariwisata sebagai suatu industri, maka pengelolaannya tidak  bisa seadanya, sebisanya, semampunya, apalagi diperlakukan sebagai pekerjaan sambil lalu. Agar pariwisata dapat diperlakukan sebagai suatu bisnis yang harus dikelola dengan well-managed maka harus menggunakan prinsip-prinsip ekonomi, hukum permintaan-penawaran, serta strategi perdagangan yang harus dikelola secara profesional.

    Kita harus meninjau berbagai konsep permintaan, meneliti model perilaku konsumen dan proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pariwisata, melihat faktor-faktor yang akan memengaruhi permintaan pariwisata pada tingkat individu dan global, serta menganalisis teknik dan pendekatan yang kita gunakan untuk menganalisis permintaan wisatawan.

    Perkembangan terkini dalam estimasi analisis dampak pariwisata mencakup penggabungan model dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial dengan teknik peramalan untuk menyediakan alat perencanaan yang komprehensif. Ini semakin menguatkan pemahaman kita bahwa kunci kesuksesan baiknya pengelolaan kepariwisataan di daerah tujuan wisata adalah terpeliharanya lingkungannya, maka itu akan mempercepat meningkatnya kualitas kehidupan masyarakatnya.

  • MELEKATKAN CITRA BUDAYA PARIWISATA



    Pada dasarnya minat wisatawan untuk berkunjung ke Daerah Tujuan Wisata memang beragam. Demikian pula daya tarik utama di daerah tujuan wisata juga beragam. Ada wisatawan khusus, yang memang minatnya ke kebudayaan, misalnya melihat museum sejarah kota, atau museum lainnya, sedangkan daya tarik lainnya buat dia hanya komplementer. Ada juga yang sebaliknya, ke Bandung misalnya untuk kuliner dan belanja, melihat suasana aura kota dan daya tarik lainnya baginya hanya komplementer.

    Kebudayaan (bukan seni dan budaya, karena seni juga adalah bagian dari kebudayaan), dengan demikian bisa disebut daya tarik utama, bisa juga komplementer.

    Ada Daerah Tujuan wisata, sebut saja seperti Kyoto, dimana kebudayaan jadi daya tarik utamanya, yang lain jadi komplementer. Juga seperti Yogyakarta atau Bali.  Apakah di Kyoto/ Bali/ Yogya yang komplementer tidak perlu diurus? Ternyata tidak, karena saling melengkapi, karena citra destinasi itu produk kolektif.

    Kita mungkin pernah mengunjungi sebuah kota atau negara yang daya tarik utamanya adalah kebudayaannya. Tapi begitu kesana, kecewa, tidak pernah mau lagi untuk kembali, karena Daerah Tujuan Wisata lainnya sangat buruk. Jalan macet, kotor, orang-orangnya tidak ramah, banyak copet dan macam-macam lagi yang membuat tidak betah.

    Bagaimana dengan Kyoto misalnya? Ternyata Daerah Tujuan Wisata kebudayaannya rapih, terawat, informatif, jalannya bagus, banyak pilihan makanannya, kotanya rapi, dan lain-lain.

    Jadi, meski misalnya Bandung Daerah Tujuan Wisata utamanya wisata perkotaan, tetap kita harus menata Daerah Tujuan Wisata kebudayaan untuk melengkapi dan memperkuat citra Daerah Tujuan Wisata secara keseluruhan. Misal, menata museum-museum, pertunjukan seni yang terjadual, menjaga kelestarian gedung-gedung bersejarah, dan lain-lain.

    Kebudayaan (kepurbakalaan, kesejarahan, nilai tradisi, kesenian) bisa menjadi salah satu penguat daya tarik wisata kota. Malah bila pengelolaannya sangat baik, boleh jadi daya tarik wisata budaya akan menjadi daya tarik utama. Nilai tradisi (rumah adat, pakaian adat, perilaku masyarakat, makanan khas tradisional) sangat mungkin jadi daya tarik menonjol.

    Sekali lagi, hanya dibutuhkan satu saja pimpinan kota/ kabupaten yang berilmu, mengerti, dan mampu mewujudkan ensemble dan menggerakan seluruh komponen budaya pariwisata secara kolektif yang membentuk citra. Melekatkan citra budaya Bandung sebagai kota seni dan budaya, hanya akan bisa terwujud sepanjang didukung oleh kebijakan dan peran pemerintah dalam upaya untuk melestarikan kebudayaannya. Pemerintah harus menyadari bahwa faktor seni dan budaya daerah dapat membentuk karakter masyarakat dan aparatur pemerintah yang tangguh mengingat seni dan budaya daerah pada dasarnya bertumpu pada nilai-nilai luhur dan religius.

    Pembangunan dibidang kebudayaan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan kepariwisataan, tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kota atau kabupaten secara keseluruhan. Tidak sedikit misi sebuah kota atau kabupaten yang salah salah satunya adalah mengembangkan sosial budaya kota yang ramah dan berkesadaran tinggi serta berhati nurani.

    Untuk mendukung visi terbut, pemerintah harus mencanangkan program prioritas pelestarian dan pengembangan seni budaya daerah melalui beberapa kegiatan, seperti: pelestarian dan pengembangan kesenian daerah, pelestarian dan pengembangan nilai-nilai tradisional, pendokumentasian sejarah, tradisi dan permainan rakyat, festival budaya daerah, pemberdayaan lingkung seni, inseminasi budaya daerah untuk remaja dan siswa sekolah, pengembangan sentra seni, pengembangan desa budaya, pasanggiri seni dan budaya, penyelenggaraan event tetap kesenian dan gelar budaya, partisipasi pertunjukkan seni dan budaya pada event regional, nasional dan internasional, kerjasama pengembangan pemanfaatan museum, dan masih banyak lagi lainnya.

    Bandung sebagai Kota Seni Budaya merupakan cita-cita Pemerintah Kota Bandung sejak lama, “impian”-nya adalah masyarakat Kota Bandung yang punya martabat, kehormatan, dan harga diri. Tidak bisa disangkal, Bandung merupakan pemasok seniman dan budayawan untuk kota lain, bahkan sampai ke ajang pentas nasional dan internasional. Darah seni yang melekat telah menjadi salah satu ikon kota ini. Keterbukaan telah memperkaya keragaman budayanya.

    Kebudayaan merupakan cerminan dari karakter, falsafah, dan nilai luhur Kota Bandung yang diwariskan dari generasi ke generasi. Peradaban Kota Bandung yang didalamnya mengalir darah seni dan budaya, selayaknya tidak hanya mencakup aspek “tontonan” semata, namun harus juga terdapat “tuntunan” bagi masyarakat untuk menjalankan kehidupan individu maupun kehidupan sosial mereka.

    Tidak dapat dipungkiri Bandung kini telah menjadi kota multi-kultur yang potensial namun sarat dengan persoalan pelik. Diperlukan kehati-hatian dalam pengelolaannya agar potensi ini tidak terhambat dan menjadi energi positif yang dapat meningkatkan kualitas sesuai dengan tuntunan zamannya (Tjep Dahyat).

    Selama hampir dua dasawarsa terakhir ini Kota Bandung mengalami perkembangan sangat menarik. Kota yang berada di Bumi Parahyangan ini kembali tampil dalam wajahnya yang senantiasa memunculkan gairah baru. Bersama dengan kreatifitas masyarakatnya, kota ini terus berusaha menyiasati persoalan kehidupan ini dengan caranya yang unik. Sejalan dengan perkembangan kotanya yang telah tumbuh sedemikian pesat.

    Upaya pengembangan diwujudkan dengan adanya upaya-upaya menyetarakan bahwa pentingnya perhatian terhadap budaya tradisi sama dengan perhatian terhadap budaya kontemporer. Sejalan dengan itu dalam rangka pengembangan budaya juga perlu memperhatikan kualitas manifestasi budaya tradisi mulai dari manajemen/pengelolaan, tampilan, materi/keterampilan, dan seterusnya sehingga perjalanan budaya tradisi benar-benar bisa dinikmati karena sarat tuntunan juga menarik untuk ditonton. Itulah makna bahwa pariwisata turut berperan dalam melestarikan budaya.

  • KEPEDULIAN MELAYANI PELANGGAN



    Kepedulian melayani bukan sekedar pelayanan yang mengandalkan RATER (Reliability, Assurance, Tangible, Empathy dan Responsiveness) atau experience semata. Namun, bagaimana penggiat bisnis bisa benar-benar memerhatikan pelanggan layaknya manusia. Kunci utama melayani pelanggan adalah memanusiakan manusia sesuai harkat dan martabatnya secara utuh. Pelanggan tidak mau menunggu, jangan buat mereka menunggu. Pelanggan tidak suka dibentak, jangan dibentak. Pelanggan tidak suka dihadapkan wajah horor, tunjukkan wajah yang ramah.

    Kunci sukses organisasi adalah mengenal pelanggan (manusia)-nya. Kustomisasi pelayanan harus sesuai dengan preferensi pelanggan. Agar konsumen datang kembali menjadi pelanggan. Pelanggan is the best number one. Hidup mati usaha kita tergantung pelanggan. Kita senang melayani, mereka senang dilayani. Pelayanan harus berpihak/ peduli pada pelanggan.

    Orang harus diperlakukan dengan baik karena orang punya perasaan. Melayani tanpa hati tidak berarti apa-apa karena manusia terpaut dengan hati, mengingat hidup ini merupakan pertemuan hati, dua hati yang bersatu. Manusia itu seputar hati, sakit hati, buah hati, sepenuh hati.

    Melayani harus punya ruh dan value. Akan begitu mudah kita dalam menjalankan pelayanan bila hati pelanggan dapat kita taklukkan. Perusahaan berbasis pelanggan akan terwujud jika segenap elemen organisasi disatu-padukan sedemikian rupa hingga setiap orang menyentuh hati para pelanggan.

    Kunci pelayanan adalah bagaimana kita memandang diri sendiri (sebagai mahluk ciptaan Tuhan), orang lain (siapapun mereka, yang jabrik, yang kriting, bau, siapa saja sama-sama insan ciptaan Tuhan) dan pekerjaan (melayani pelanggan bukan dilayani pelanggan). Dengan demikian sikap dasar yang harus dikembangkan dalam pelayanan pelanggan adalah share (berbagi), fair (terbuka/ transparan), care (peduli) dan dare (keberanian untuk belajar dari diri sendiri).

    Secara umum ada 3 (tiga) jenis pelanggan, yaitu pelanggan yang  berorientasi pada harga pelayanan, orientasi pada pemenuhan jenis pelayanan yang dibutuhkan dan pelanggan yang berorientasi pada nilai-niai yang didapat dari pelayanan. Inilah mengapa melayani pelanggan harus kreatif, harus progressive dan harus proaktif – cepat tanggap – antisipasif.

    Pelanggan menginginkan agar dapat mencapai apa yang mereka inginkan. Apakah mutu produk atau pelayanan yang lebih baik, harga yang pantas, proses transaksi yang nyaman dan menyenangkan. Tugas kita adalah berusaha agar apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan pelanggan dapat kita sajikan secara tepat sesuai harapan dan dapat memberikan tingkat kepuasan yang tinggi bagi pelanggan.

    Pelanggan adalah benar-benar pihak yang memiliki harga paling tinggi dari keseluruhan dinamika usaha pelayanan kita. Pelanggan adalah segala – galanya bagi organisasi pelayanan kita. Tanpa pelanggan pelayanan yang kita tawarkan menjadi tidak punya arti. Sedangkan pelanggan masih punya pilihan pelayanan lain, apabila kita tidak dapat memberikan kepuasan kepada mereka. 

    Mengapa pelanggan puas? Karena mereka disambut dan diterima dengan baik – (perlakukan sama kesemua orang, orang ingin dihormati dan dihargai sesuai harapan, diperhatikan keberadaannya, dipenuhi harapan dan keinginannya, dibantu dan dipecahkan problemnya, diberitahu perkembangannya, dijaga keamanan dan keselamatannya), diperlakukan secara fair. Rangkullah pelanggan anda dengan membuatnya merasa diterima dan dihargai, dan merekapun akan menghargai anda dengan melakukan pembelian kembali bahkan menjadi promoter.

    Semua jenis usaha memiliki “moment of truth” nya sendiri. Senyum salam, sapa, bantu, dan setelah usai ucapkan terimakasih dan undang kembali. Service pelayanannya cepat, tepat, mudah, menyenangkan. Hal kecil seperti kejelasan produk/jasa yang ditawarkan tanpa harus bertanya, signs parkir, toilet, tempat wudhu, mushalla cukup jelas. Muliakan pelanggan, jangan dibuat seakan pelanggan orang bodoh dan memalukan.

    Sedikit saja penggiat usaha alpa di titik itu, maka usahanya pasti mundur dan gagal. Sumber Daya Manusia adalah kunci, karena interaksi mereka dengan pelanggan tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Oleh karena itu, sangat penting membentuk Sumber Daya Manusia hebat dengan pelatihan, pembiasaan, mengingatkan dan pengendalian yang baik setiap saat.

    Banyak pengggiat usaha yang tidak manusiawi melayani pelanggan. Hal terbesar yang membuat pelanggan tidak kembali adalah perilaku penyedia jasa, orang yang bertemu langsung dengan pelanggan. Artinya sebagus apapun produk jasa yang kita jual jika perilaku kita dalam memberikan pelayanan tidak membuat hati pelanggan senang, bisa jadi mereka tidak akan kembali kepada bisnis kita.

    Kepedulian melayani membutuhkan total involvement, melibatkan keseluruhan stakeholder. Tiada seorang pun yang demikian tinggi di organisasi sehingga bebas dari melayani pelanggan. Bagi para pelanggan dan rekanan, itu menunjukkan bahwa anda siap berbisnis. Melayani pelanggan adalah sebuah kehormatan, suatu hak istimewa dan suatu kesenangan. Melayani pelanggan memerlukan waktu, energi dan komitmen yang nyata yang harus diberikan oleh setiap orang yang terlibat, tidak hanya orang-orang yang melayani pelanggan secara langsung.

    Enam ciri sanubari untuk bisa menjadi pelaku yang peduli pelayanan pelanggan yaitu kejujuran (senang apa adanya, senang melayani pelanggan, walaupun kadang menyakitkan hati),  kasih sayang (bisa memberikan sesuatu yang paling berharga untuk orang lain), kemampuan mengendalikan diri, antusias (semangat), kesiapan untuk mampu mengantisipasi setiap kondisi dan ketekunan.

    Pelanggan adalah segala-galanya bagi organisasi pelayanan kita. Mungkin perlu kita renungkan betapa berharganya pelanggan bagi kelangsungan hidup perusahaan kita. Kepedulian menghadirkan mutu pelayanan prima adalah hidup dan mati bagi perusahaan. Tanpa pelayanan yang benar-benar dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan maka mau atau tidak mau, cepat atau lambat perusahaan akan gulung tikar dan ditinggalkan pelanggannya.

  • UP-SKILL SDM KEPARIWISATAAN



    Tidak bisa dipungkiri, realitas kasat mata SDM kepariwisataan, terutama di daerah, memang masih menyedihkan. Tampak bagaimana lemahnya satu mata rantai pelayanan bisa merusak citra secara total. Berangkat dari hal mendasar, kita harus akui bahwa masih sangat banyak masyarakat tidak begitu paham tentang kepariwisataan.

    Masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwa “mata dagangan” pariwisata adalah citra, buah karya kolektif kita semua. Semua berperan dalam pembentukan citra. Disisi lain, ada ciri khusus pariwisata seperti: memenuhi harapan wisatawan dalam bentuk tangible dan intangiblein-situ (di tempat tersebut), tidak dapat diulangi kalau salah dan seterusnya. Sehingga dibutuhkan SDM yang profesional secara utuh dan spesifik (kognitif, afektif, psikomotor) yang mampu memberi pelayanan memuaskan  sesuai harapan wisatawan, karena memang mereka membeli” pengalaman yang menyenangkan”.

    UU Pariwisata cukup jelas menyampaikan bahwa pembangunan kepariwisataan meliputi: industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan pariwisata. Tentu termasuk lembaga dinas teknis pariwisata. Kepala daerah wajib mengembangkan kebijakan pengembangan SDM melalui pelatihan kepariwisataan, melalui: pembinaan aparatur, pembinaan SDM usaha pariwisata, pembangunan pemberdayaan masyarakat, dan membentuk organisasi pembelajaran. Harus diakui memang masih minim kepala daerah yang mengerti dan berniat mensejahterakan masyarakat, kalau dilantik yang dipikir ya mobil baru, fasilitas-fasilitas buat dirinya dan lain-lain.

    Memasyarakatkan pariwisata itu harus dimulai dengan mempariwisatakan masyarakat. Yang dimaksud masyarakat disini seperti aparat pemerintah, dosen-dosen LEMDIKTI Kepariwisataan, dan seterusnya diberbagai kelompok dan strata masyarakat lain. Azas dasarnya yaitu: manfaat, disertai pembangunan keberlanjutan jangan sampai tourism jadi destroyer kepada lingkungan.

    Tak sedikit di lembaga pendidikan kepariwisataan masih banyak akademisi dari berbagai bidang ilmu yang tidak jelas habitat asalnya tiba-tiba mengajar pariwisata. Tidak sedikit mereka gagap dalam memberikan penjelasan tentang kekhususan hospitality industry dan contoh-contohnya. Kebanyakan mereka menurut direkturnya ya mengajar mata kuliah saja. Akhirnya tidak mendidik perubahan sikap menjadi seorang entrepreneur dan melayani dengan prima.

    SDM Kepariwisataan kita sebetulnya tidak buruk-buruk amat. Namun mereka membutuhkan pendidikan yang khusus terkait budaya wisata melalui otoritas pariwisata sebelum gembar-gemborkan visit indonesia. Kebijakan pengembangan SDM pariwisata hendaknya diarahkan untuk menciptakan dan menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu bersaing dalam tataran lokal, regional dan internasional dengan tidak meninggalkan identitas lokalnya sebagai faktor pembeda yang unik.

    SDM Pendidik, misalnya dosen, harus mengacu kepada UU pendidikan, yaitu merobah sikap anak didik/mahasiswa, bukan hanya transfer ilmu. Gampang amat ya kalau cuma transfer ilmu mengingat di lansekap horizontal saat ini bisa mencari ilmu sendiri. Dosen ini harus kenal, tahu, ngerti, paham, mendalami filosofinya, menguasai, dan mencintai hal kepariwisataan. Kalau tidak, ya wassalam. Mereka harus menyampaikan hal-hal khusus yang ada dalam lingkup pariwisata, sehingga diperlukan orang atau operator khusus yang lengkap secara kognitif, afektif dan psikomotornya.

    Tujuan ini dapat didasarkan pada kebijakan pengembangan SDM pariwisata dengan membangun sistem dan melaksanakan pembinaan aparatur pemerintah  dalam bidang kepariwisataan, membangun sistem dan melaksanakan pembinaan SDM usaha pariwisata dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya yang tersedia, melaksanakan pemberdayaan masyarakat di bidang kepariwisataan atau bidang terkait lainnya dan membangun organisasi pembelajaran (knowledge organization) diseluruh instansi pemerintah, organisasi usaha pariwisata, dan lembaga kemasyarakatan di bidang pariwisata.

    Kerangka pengembangan SDM pariwisata yang digunakan untuk aparatur pemerintah dibidang pariwisata atau terkait dilaksanakan dengan menyediakan sistem pengembangan yang dapat membangun tiga kompetensi utama yaitu kompetensi kepemimpinan (leadership competence), kompetensi fungsional (functional competence) dan kompetensi dasar (basic competence).  

    Kompetensi dasar ditujukan untuk memberikan pemahaman dasar tentang kepariwisataan. Kompetensi fungsional berkaitan dengan bidang-bidang fungsional pembangunan kepariwisataan (perencanaan destinasi, pemasaran, pembinaan dan pemberdayaan SDM/ masyarakat, dan lain-lain). Dan kompetensi kepemimpinan ditujukan untuk memberikan wawasan strategis tentang pembangunan kepariwisataan (pengembangan dan implementasi kebijakan, pengelolaan destinasi).

    Langkah prioritas strategis yang masih mungkin dilakukan adalah pengembangan sistem dan pelaksanaan pembinaan SDM di dan untuk usaha pariwisata dilakukan untuk mencetak tenaga kerja yang memenuhi standar kompetensi nasional maupun global, mengingat kota/ kabupaten merupakan salah satu destinasi wisata dengan jumlah usaha dibidang pariwisata yang cukup besar dengan melibatkan lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata, asosiasi usaha pariwisata (ASITA, PHRI dan lain-lain), serta memfasilitasi pelaksanaan tugas Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pariwisata dengan memperhatikan standar kompetensi nasional (SKKNI) dan internasional (ASEAN Common Comptence Standard, dan lain-lain) di bidang pariwisata.

    Pembentukan organisasi pembelajaran dilaksanakan dengan membangun jaringan informasi antar pemangku kepentingan agar informasi dan pengetahuan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan kepariwisataan yang dimiliki bisa disebarluaskan sehingga dicapai suatu pemahaman yang linier akan karakter dan kompleksitas kepariwisataan serta peran masing-masing didalam pembangunan kepariwisataan. Seluruh pemangku kepentingan diharapkan sadar akan kebutuhan pembelajaran dan mampu menciptakan kegiatan pembelajaran yang relevan.

    Berdasarkan pemahaman di atas, direkomendasikan suatu model pengembangan SDM (aparatur, SDM usaha pariwisata dan masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai kerangka dasar pembinaan SDM pariwisata di kota/ kabupaten.

  • Traveling Yang Mencerahkan



    Ada banyak cara untuk menemukan makna hidup. Banyak orang telah mencoba beberapa cara dan cara yang paling menarik adalah dengan traveling. Bagi kebanyakan orang tujuan utama traveling adalah untuk bersantai, menjauh dan mencari keheningan. Traveling pun diharapkan memberikan kejelasan tentang hal yang paling utama yaitu kebersamaan dengan keluarga, membangun ikatan emosional yang lebih erat dan membuat hubungan kita dengan keluarga menjadi lebih dalam.

    Kita sangat butuh traveling, jeda dari pekerjaan, tidak terjebak dalam pola dan kebiasaan yang sama: rapat, surel, acara yang berulang dan lainnya. Pekerjaan mengisi kantong kita, traveling mengisi jiwa kita, berdampak positif pada kesehatan mental dan emosional.

    Terkadang traveling adalah momentum melepaskan diri dari kepenatan semua itu dan mengalami berbagai hal dengan cara yang benar-benar berbeda, memberi semangat baru pada pikiran.

    Traveling merupakan perwujudan hakikat hidup – perpaduan harmonis antara tubuh dan jiwa di tengah bentang alam yang luas. Traveling sering kali mengajak kita keberbagai perbedaan: dari tempat persembunyian yang tenang hingga pusat kota yang ramai, menyaksikan berbagai perbedaan ritual kehidupan manusia yang tampak dalam masyarakat, ekstremitas iklim planet kita dan interaksi megah antara gunung dan lautan.

    Ketika sesuatu yang baik terjadi dalam hidup, kita seringkali melakukan traveling untuk merayakannya. Jika sesuatu yang buruk terjadi, kita melakukan traveling untuk melupakannya. Jika tidak terjadi suatu apa-apa, kita kerap melakukan traveling untuk mewujudkan sesuatu. Orang bijak melakukan traveling untuk menemukan dirinya sendiri.

    Ketika kita mengatakan ingin traveling kita tidak selalu bermaksud ingin menginap di resor mewah atau membeli gantungan kunci dari toko suvenir. Ketika kita mengatakan ingin traveling, yang kita maksud adalah kita ingin menjelajahi tempat lain dan menjadi bagian darinya.

    Kita ingin menemukan kedai kopi dan jalan-jalan tersembunyi di Eropa. Kita ingin mendaki gunung dan berjalan di sepanjang pantai yang tenang. Kita ingin bertemu dengan beberapa orang yang tidak seperti kita, namun tetap saja orang-orang yang kita sukai. Kita melihat foto orang-orang dan tempat-tempat yang kita lihat.

    Ke mana pun atau alasan kita traveling, selalu ada hal baru yang dapat ditemukan.
    Kita traveling karena kita tidak merasa cukup hanya melihat foto dibuku dan brosur wisata, untuk berada di sana, itu adalah segalanya.

    Lebih baik melihat sesuatu sekali daripada mendengarnya ribuan kali. Kita ingin pikiran kita selalu terkagum-kagum dengan keindahan di bumi. Saat kita berkesempatan melihat peta dan dapat mengingat bagaimana kita diubah oleh tempat-tempat yang pernah kita kunjungi, orang-orang yang kita temui, dan hal-hal yang telah kita lihat.

    Traveling itu seperti sesuatu yang selalu menggoda kehidupan. Ini adalah gerakan optimisme. Kebahagiaan adalah merencanakan traveling ke suatu tempat yang baru. Terkadang, kita hanya perlu istirahat. Di tempat yang indah. Sendiri. Untuk mengetahui semuanya. Kita dapat merasakan saat terbangun sendirian di kota asing adalah salah satu sensasi paling menyenangkan di dunia.

    Dorongan untuk traveling adalah salah satu gejala kehidupan yang penuh harapan.
    Kita sangat bergairah merancang skenario itinerary, mengemasi barang-barang dan secara rinci mengabadikan semua kenangan atas nikmat keindahan alam yang Tuhan berikan kepada kita. Kita ingin traveling sebanyak yang kita bisa, sejauh yang kita bisa, dan sebanyak mungkin tempat.

    Traveling membuat kita tidak bisa berkata-kata. Mengubah kita menjadi pendongeng. Selalu ada keinginan atau dorongan yang kuat untuk traveling dan menjelajahi dunia.

    Traveling membawa kebaikan bagi hati. Traveling penting untuk pikiran kita. Traveling adalah tentang menemukan hal-hal yang kita tidak pernah tahu sedang kita cari. Traveling bukanlah sesuatu yang berada di luar manusia, melainkan didalam diri manusia. Ini semua tentang menghibur jika menyangkut pariwisata.

    Traveling menjadikan satu-satunya hal yang kita beli yang membuat kita menjadi lebih kaya, membawa kekuatan dan cinta kembali ke hidup Anda. Penemuan traveling yang sesungguhnya bukanlah mencari bentang alam baru, melainkan mendapatkan pandangan baru. Kita traveling karena kita perlu agar ada sesuatu dalam pikiran kita yang berubah dan itu mengubah segalanya. Kita mendapatkan pendidikan dengan traveling. Traveling mengajarkan toleransi.

    Pendidikan terbaik yang pernah kita dapatkan adalah melalui traveling. Tidak ada yang mengajarkan kita lebih dari menjelajahi dunia dan mengumpulkan pengalaman. Traveling mendorong keterbukaan pikiran, dan kita percaya bahwa interaksi yang kita lakukan saat pergi ke suatu tempat dan bertemu orang-orang semuanya mempertajam pikiran.

    Traveling membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kaya secara emosional, intelektual, dan spiritual yang kesemuanya itu membentuk kita lebih bijak dalam menilai suatu situasi. Setiap traveling terasa seperti langkah lebih dalam menuju penemuan jati diri karena ada pengalaman baru, pelajaran hidup dan pertumbuhan pribadi yang sangat berharga.

  • HARMONISASI GERAK PARIWISATA



    Berkaca dari succes story banyak negara lain yang menjadikan tourism sebagai lokomotif untuk peningkatan kualitas lingkungan dan kehidupan warganya, maka terbit Keppres 5 Tahun 2005 silam tentang keharusan kepala daerah mengembangkan kepariwisataan di daerah masing-masing. Jika kita mengatakan pariwisata menjadi lokomotif pembangunan artinya PDRB Pariwisata sebagai indikator kinerjanya (seberapa besar kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB).

    Sayangnya, hanya 1-2 kepala daerah yang mengerti bahwa produk pariwisata adalah citra destinasi, yang dibentuk dan merupakan hasil kerja kolektif seluruh komponen pemerintah dan masyarakat yang berbasis pariwisata. Disitulah pentingnya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi seluruh komponen berdasarkan kesetaraan by harmoni atau keselarasan gerak dan irama dalam mencapai tujuan, hanya bisa dicapai bila pimpinan daerahnya bagus, membuat partitur, dan memimpin keselarasan irama dan gerak semua komponen.

    Mengingat karakter perkembangan pariwisata merupakan gabungan antara daya tarik kota dan kabupaten, untuk melayani wisatawan dan kemudian digunakan untuk pengembangan pariwisata, pengembangan hubungan antar pemangku kepentingan akan sangat berpengaruh dalam meningkatkan kualitas pembangunan pariwisata.

    Untuk itu diperlukan kolaborasi untuk Menciptakan iklim yang kondusif bagi terselenggaranya hubungan kerjasama antar pemangku kepentingan kepariwisataan.

    Menciptakan kerangka kerjasama lintas sektoral yang dapat menunjang pembangunan pariwisata.
    Membangun sistem dan jaringan komunikasi dan informasi antar stakeholders.

    Menciptakan ruang bagi pengembangan program dan kegiatan kerjasama pembangunan pariwisata yang dapat dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan.

    Dengan kolaborasi yang harmonis maka kepala daerah dapat menciptakan keselarasan gerak pariwisata di wilayahnya, yang salah satunya dapat mengantisipasi terjadinya overtourism.

    Sejujurnya penulis kurang setuju kalau istilah “overtourism” melulu dikonotasikan negatif, misalnya yang terjadi di Bali beberapa waktu lalu yang sempat dikritik Dewan Pariwisata Dunia (World Travel & Tourism Council). Overtourism, disatu sisi adalah suatu keberhasilan masyarakat yang mampu mewujudkan sapta pesona, namun sekaligus menunjukan dengan nyata kelemahan pemerintah dalam mengelola kepariwisataan, dan sangat nampak sebenarnya perkembangan tersebut seperti berjalan ‘Autopilot”.

    Perlu kiranya dipahami bahwa tidak mudah mewujudkan suatu daerah sebagai destinasi tujuan wisata pilihan wisatawan, bahkan teramat sulit. Ketika sudah banyak wisatawan yang datang, stakeholder pariwisatanya tampak bingung sendiri. Jika suatu destinasi utama sudah maju pesat, biarkanlah, itu bagus. Untuk menjaga keseimbangannya maka destinasi utama itu biarkanlah menjadi pintu masuk distribusi ke destinasi sekitarnya.

    Tentu ini harus difasilitasi oleh pemerintah yang diatasnya. Sebagai ilustrasi misalnya, jika di Bandung terjadi overtourism, maka Gubernur Jawa Barat dapat memanggil Walikota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, untuk bekerjasama dalam segala hal kepariwisataan. Provinsi punya kewajiban sebagai pengatur wilayah dan promosi kewilayahannya. Maka mungkin bisa terwujud semacam Bandung Plus dan seterusnya.

    Dengan demikian overtourism di suatu destinasi wisata tidak akan mengganggu warga setempat, baik dampak lingkungan, sosial budaya maupun ekonomi. Kata ‘overtourism’ dapat menjadi konsep yang relatif – jumlah wisatawan yang terlalu tinggi belum tentu menjadi semacam ancaman bagi warga di suatu destinasi tertentu.

    Kepala daerah memiliki peran penting dalam mengendalikan dampak negatif overtourism agar pariwisata tetap memberikan manfaat bagi daerahnya tanpa merugikan penduduk setempat melalui regulasi terhadap kegiatan wisatawan. Penataan ruang dan infrastruktur berkelanjutan yang baik dapat membantu mengendalikan dampak negatif overtourism, memberikan kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan, sehingga mereka tidak merasa terlalu mengganggu kehidupan penduduk lokal. Peningkatan kualitas lingkungan, adalah tujuan utama pengembangan kepariwisataan, tujuan berikutnya adalah kesejahteraan warga/ masyarakat.

    Semua kembali berpulang kepada kekuatan SDM (pariwisata) di pemerintahan. Hingga saat ini stakeholder kepariwisataan masih menantikan pemimpin yang sangat peduli terhadap kepariwisataan, yang peduli dengan kualitas sumber daya manusia pariwisata, yang program-kegiatan kepariwisataannya membumi, yang memiliki komitmen dalam menyiapkan masyarakat sadar wisata, yang terus menerus mempersiapkan sumber daya manusia regulator, mengembangkan daya tarik khas, dan lain-lain.

    Contoh kasus di berbagai negara yang telah mengambil langkah-langkah sukses pariwisata kiranya mengingatkan kita akan perlunya konsistensi dari pemerintah setempat untuk menerapkan berbagai kebijakan dan inisiatif yang efektif dalam harmonisasi gerak dan irama pariwisata yang akan meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

    Bagi suatu destinasi yang menjadi pintu masuk bagi destinasi disekitarnya, sangat perlu melakukan kerjasama dengan daerah sekitarnya, dan boleh berbangga hati menjadi ‘jalan rizki” dengan daerah tetangganya, dengan secara bersama menawarkan paket-paket wisata unggulan dengan rute yang lebih luas, kualitas lingkungan yang lebih baik, memperpanjang lama tinggal, dan akhirnya tujuan berikutnya kesejahteraan tercapai.

  • ALAMAT

    Cihanjuang - Cimahi, Jawa Barat

    EMAIL

    idoeyoptima@gmail.com

    TELEPON

    (022) 664 6418

    MOBILE

    +62 812-2137-498